Agar SBI Tak Sekadar Mengejar Gengsi
Simposium Access English EBE akan digelar 8-11 Juni 2009 di Jakarta. Apa saja persoalan yang ada seputar pengajaran bilingual ini?
Siang itu terik di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun panasnya udara tak terasa di sebuah ruang kelas tujuh SMPN 19. Ada penyejuk di ruangan itu. Beberapa peralatan multimedia dan hotspot juga terlihat. Sekilas saja orang bisa langsung paham bahwa suasana kelas ini berbeda dengan kelas di sekolah-sekolah Indonesia pada umumnya. Apa lagi, guru yang mengajar menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.
Nama guru itu Zauki. Hari itu ia menjelaskan tentang fotosintesis atau bagaimana zat asam terbentuk. Bahasa Inggrisnya lumayan lancar meskipun logatnya masih sangat Indonesia. Setiap kali usai menjelaskan sesuatu ia bertanya, “Understand?” Murid-murid tetap diam sehingga Zauki mengulang pertanyaannya. Kali ini dalam bahasa Indonesia. “Anak-anak pada ngerti nggak?” Sontak para murid menjawab serempak. “Yeeees.”
Di kelas Zauki, murid terlihat pasif. Namun, seusai kelas, salah seorang siswi bernama Anindita menyatakan bahwa ia senang-senang saja diajar dalam bahasa Inggris. “Nggak ada kesulitan,” katanya malu-malu.
Di tempat lain, tepatnya di SD Model Islamic Village Tangerang, pemandangan serupa bisa ditemui. Di kelas satu, seorang guru matematika mengenalkan angka dalam bahasa Inggris. Di kelas empat, seorang guru menjelaskan medan magnet: di ujung ini kutub negatif, di ujung yang satunya kutub positif. Guru yang bernama Nelly itu juga membawa baterai sebagai alat peraga. Murid-murid Ibu Nelly cukup aktif. Ketika ia bertanya mengenai fungsi baterai, anak-anak berlomba menjawab, ”Car toys, calculator.”
Proses belajar dengan pengantar bahasa Inggris memang sudah berlangsung beberapa waktu di beberapa sekolah di Indonesia. Tepatnya, sejak 2005 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) mencanangkan sekolah bertaraf internasional di Indonesia. Dari sekitar 450 sekolah yang menerapkan sistem ini, kini tersaring 112 yang kemudian ditetapkan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SBI).
Di sekolah yang berlabel R-SBI, bahasa Inggris tak lagi diajarkan sebagai bahasa asing. Ia juga dipakai untuk pengantar pelajaran matematika dan sains atau lazim disebut English-medium Teaching of Mathematics and Science through English (EMMS).
Tujuan yang ingin dicapai jelas. Di dunia yang makin menekankan pentingnya kecakapan berbahasa Inggris, Indonesia tak mau ketinggalan. Indonesia tak sendirian dalam menetapkan pendidikan dwibahasa atau bilingual ini. Negara-negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam juga melakukan langkah serupa.
Mengingat EMMS relatif baru, pelaksanaan di lapangan memang belum sesuai skenario awal. Para guru SD Model Islam Village, Tangerang, misalnya, menyebut tentang kemampuan murid yang berbeda-beda. Oleh karenanya, bahasa Indonesia masih dipakai sekalipun penekanannya tetap pada bahasa Inggris. Mereka juga merasa kursus bahasa Inggris yang mereka ikuti selama satu bulan jauh dari memadai. “Mestinya kontinyu,” kata Azizah, guru matematika.
Untuk mengatasi persoalan ini para guru rutin mengadakan pertemuan sepekan sekali. Mereka membuat semacam panduan, worksheet. Sadar bahwa boleh jadi di antara para murid ada yang lebih pintar berbahasa Inggris, mereka juga tak ragu menyertakan masukan para murid dalam panduan ini.
Satu hal yang dirasa masih berat bagi mereka adalah materi ajar. Seringkali mereka harus mencari sendiri. Azizah, misalnya, menyebut materi untuk topik bilangan pecahan yang diterimanya dari Diknas kurang sederhana. “Buku terbitan Singapura tak serumit itu,” kata Azizah. Selain itu, masalah juga timbul kala ujian tiba. Pelajaran diujikan dalam bahasa Indonesia, sementara bahasa yang dipakai dalam pelajaran sehari-hari kebanyakan Inggris. Akibatnya, guru dan murid sama-sama bingung.
Orang tua murid mempunyai sikap beragam mengenai pendidikan bilingual. Siti Juhariah, tinggal di Jakarta, menyebut tak punya masalah dengan pengantar bahasa Inggris untuk pendidikan anak-anaknya. Kebetulan, kedua anaknya yang bersekolah di kelas akselerasi SMAN 8 Jakarta begitu lulus langsung diterima di Institut Teknologi Bandung. Retnowati, tinggal di Depok, semula berniat menyekolahkan anaknya di sebuah SMA negeri yang berlabel SBI. Namun, ia ragu-ragu begitu tahu bahwa guru-guru di sekolah itu baru saja menempuh kursus Inggris untuk kelas yang masih sangat dasar.
Konsultan pendidikan Itje Chodijah menilai pendidikan bilingual di satu sisi memang banyak manfaatnya bagi pembelajar: kognitif, kreativitas, kesadaran linguistik dan budaya, bisa menguasai bahasa lain secara lebih cepat dan efisien, serta punya nilai lebih saat masuk dunia kerja. Namun, pendidikan bilingual baru bisa efektif kalau fasilitasnya siap: kefasihan dalam bahasa Inggris, unsur penguasaan bahasa, serta buku teks yang memadai.
“Siapa misalnya yang memeriksa standar mutu bahasa Inggris para guru?” tanya Itje. Baginya, nilai TOEFL yang tinggi saja belum cukup karena agar pelajaran bisa diterima murid dengan baik, guru semestinya menerapkan sistem pembelajaran aktif yang merangsang siswa berpikir mandiri. Padahal, dalam bahasa Indonesia saja metode active learning ini belum cukup dikuasai.
Menurut Itje, harus dilakukan langkah simultan agar SBI bisa berjalan sesuai yang diinginkan. Selain penyediaan buku teks dan pelatihan kepada para guru, mesti dilakukan juga pembenahan kurikulum di perguruan-perguruan tinggi keguruan agar sejalan dengan kebutuhan. Ibaratnya, pembenahan di bagian hulu. Yang tak kalah penting, menurutnya, tuntutan SBI mesti lebih realistis. Mata pelajaran matematika dan sains menurutnya terlalu berat untuk diajarkan dalam bahasa Inggris. “Mengapa tak dicoba dulu untuk pelakaran olahraga, misalnya?”
Dengan ilustrasi beberapa masalah di atas, maka acara Simposium Access English EBE (English for Bilingual Education) yang akan digelar 8-11 Juni 2009 di Jakarta oleh British Council menjadi sangat layak ditunggu. Sebagai lembaga yang sangat peduli untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris, British Council berkepentingan terhadap kesuksesan acara. Dalam acara ini, para praktisi yang merupakan mitra British Council dari kawasan Asia Tenggara akan berkumpul dan berbagi pengalaman. Ada tantangan yang sifatnya umum, ada pula yang khas setiap negara. Mereka juga bakal mendiskusikan isu-isu penting seputar perencanaan dan penerapan program EBE yang efektif dan merancang langka-langkah selanjutnya untuk perbaikan pengajaran dan pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris.
Diharapkan, acara ini bakal memunculkan pemahaman menyeluruh mengenai hal-hal seputar EBE. Misalnya, pemahaman yang lebih besar dari kementerian-kementerian pendidikan akan rentang program EBE yang tersedia, pula implikasi program berjenis EBE bagi pelatih, guru, dan siswa.
Dalam seminar nanti, salah satu pembicaranya adalah John Clegg. Pada akhir 2007 yang lalu, Clegg pernah melakukan penelitian singkat di sekolah-sekolah Indonesia mengenai pelaksanaan EMMS. Saat itu ia sudah memberikan beberapa rekomendasi, misalnya tentang pemilihan beberapa sekolah sebagai model. Menarik untuk menyimak apa yang akan disampaikannya kali ini.
Anda punya pertanyaan, masukan, atau bahkan kekhawatiran seputar pendidikan dwibahasa? Tunggu kabar selanjutnya dari kami setelah acara Simposium Access English EBE yang akan digelar tanggal 8 – 11 Juni nanti.
It is taken from here
Recent Comments